Oleh Diakon Gaudensius Taninas
Minggu Biasa XIX
Bacaan I : 1Raj. 19:4-8
Bacaan II : Ef. 4: 30-5:2
Injil : Yoh. 6: 41-51
Ziarah Ellia menuju gunung Horeb adalah sebuah perjalanan iman. Horeb adalah gunung Allah tempat tempat terjadinya dua kisah penting Israel: Musa menerima dua loh hukum dan dari atas gunung inilah Allah berkenan menyatakan diri-Nya kepada seluruh bangsa Israel. Perjalanan Ellia adalah sebuah perjalanan menuju Allah dan di Horeb-lah Allah akan menyatakan diri-Nya kepada Ellia pula. Tiga hal penting yang dapat kita maknai dari bacaan pertama ini:
Pertama Ellia dalam peziarahannya.
Sebagai nabi ia telah menyatakan kemuliaan Allah di gunung Karmel dengan mengalahkan nabi-nabi baal. Peziarahan Ellia adalah sebuah ekspresi manusiawi yang terhimpit ketakutan. Yehuda bukan lagi sebuah tempat aman baginya. Peziarahan Ellia menandaskan bahwa tatkala semua pengharapan dunia ini habis maka tempat perlindungan kita satu-satunya adalah Allah. Ziarah Ellia adalah sebuah perjalanan melintasi gurun pengharapan iman yang panjang. Putus asa, kelelahan, khawatir, adalah ekspresi manusiawi, tetapi dengan imannya Elia dipelihara Allah.
Kedua: Gunung Horeb.
Horeb (Sinai) adalah gunung perjanjian, tempat pernyataan diri Allah. Horeb adalah bukti bahwa Allah memelihara umat-Nya dengan setia pada janji-Nya. Dengan berjalan ke Horeb, Ellia menghidupkan kembali janji kesetiaan Allah kepada Israel sekalipun Israel kerap tidak setia kepada Allah.
Ketiga: Pengalaman Ellia diberi makan.
Pengalaman ini mengantarai antara perjalanan Ellia dan gunung Allah, gunung Horeb. Ellia menghidupkan kembali pengalaman iman Israel yang diberi makan manna di padang gurun. Keterwakilan pengalaman Ellia ini sesungguhnya menjadi sebuah bukti bahwa Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya dan senantiasa memelihara umat-Nya. Tindakan memberi makan kepada Israel dan kepada Ellia adalah bukti ketetapan kasih Allah.
Pengalaman perjalanan Ellia selama 40 hari mengingatkan kita akan kisah peziarahan Israel selama 40 tahun menuju tanah terjanji. Ellia melihat kehancuran Israel, penolakan Israel akan Allah dan dirinya sebagai nabi (utusan) Allah. Ia ditolak dan diancam untuk di bunuh. Dalam situasi ini, ziarah menuju Horeb yang dilakukan Ellia adalah simbol perjalanan pulang yang tepat, pulang kepada Allah yang selalu setia kepada janji-Nya.
Kisah penolakan Ellia dalam bacaan pertama dialami pula oleh Yesus sebagaimana narasi Injil hari ini. Konfrontasi dengan orang-orang yang datang mencarinya terjadi setelah kekaguman mereka akan pergandaan roti yang begitu mengagumkan. Perkenalan Yesus sebagai roti hidup merupakan subjek narasi ini. Pergandaan roti sesungguhnya hanyalah simbol dari kebesaran Allah yang senantiasa memelihara umat-Nya. Pemeliharaan Allah merupakan bentuk kasih-Nya kepada manusia, maka dengan roti hidup yang adalah Putra-Nya sendiri, Allah memberi kekuatan kepada manusia bukan sebatas di dalam dunia tetapi sampai pada akhirat.
Sisi kemanusiaan Yesus menjadi alasan penolakan orang-orang Yahudi. Roti hidup bukan sekedar makanan, bukan sekedar barang materialis. Maka apa yang dipersoalkan oleh orang-orang Yahudi sangat tidak relefan. Roti hidup adalah suatu pemberian diri, kasih agape yang menghantar pada kehidupan kekal. Maka dengan memilikinya setiap orang dapat sampai pada kehidupan kekal. Kisah ini menggambarkan bahwa pemeliharaan Allah itu nyata kepada manusia. Lewat bebagai cara Allah menuntun umat-Nya kepada rumah-Nya yang kekal. Pemeliharaan itu terjadi atas kasih dan kehendak Allah sendiri yang ingin agar umat-Nya tidak saja hidup dalam dunia tetapi dihantar sampai ke rumah Allah.
Paulus memaparkan sebuah nasihat praksis hidup kepada jemaat di Efesus. Pemeliharaan paling sempurna terjadi melalui korban Salib. Maka sebagai anak-anak yang tertebus, anak-anak Allah, Paulus mengajarkan agar menjadikan diri sebagai persembahan yang hidup. Kualitas hidup anak-anak Allah adalah: ramah terhadap orang lain, bersedia mengampuni dengan penuh kasih. Bagi Paulus, penyerahan diri seorang Kristen adalah dengan mengaktualkan iman itu dalam perbuatan-perbuatan baik, dengan itu kasih Allah benar-benar hidup dalam dunia.
Ketiga bacaan suci hari ini memberi kita bekal penting. Kita orang-orang Katolik adalah umat tertebus yang disebut Paulus sebagai anak-anak Allah. Kita sedang dalam perjalanan iman yang panjang di dunia ini. Kita seperti Ellia sedang berjalan menuju Allah, kita harus melalui gurun kehidupan yang rumit. Keputusasaan, kekawatiran adalah bagian dari perjalanan itu. Kerap kali kita lelah dan putus asa, itu situasi gurun kita. Satu hal yang perlu kita sadari adalah bahwa Allah tidak pernah meninggalkan kita. Ia tetap memelihara kita dengan memberikan hal yang paling kita butuhkan; makanan, seperti ketika Ia memberikannya kepada bangsa Israel dan Ellia di padang gurun. Sekarang Ia memberikannya secara berbeda. Makanan jasmani dialirkan Allah melalui berkat dalam pekerjaan dan makan rohani kita adalah roti hidup santapan Ekaristi suci.
Kristus telah memberikan diri-Nya dalam Ekaristi sebagai santapan iman yang meneguhkan perjalanan kita. Jika makanan jasmani hanya menemani kita selama beberapa jam, maka roti hidup memberi kita kekuatan selama sehari bahkan seminggu. Setelah menyambut tubuh Tuhan kita merasa diteguhkan, dikuatkan dalam iman untuk berjalan dalam gurun hidup kita yang luas ini. Semoga roti hidup, Ekaristi kudus senantiasa menjadi sumber yang mengalirkan rahmat bagi kita orang yang percaya. Amin