Skip to content
Paroki Santo Yoseph Naikoten Kupang

Paroki Santo Yoseph Naikoten Kupang

Pelayanan Pastoral Digital

  • Salam
  • Info Paroki
    • Profil Singkat
    • Sejarah Singkat
    • Tim Pastores & Karyawan
  • Sakramen
    • Sakramen Baptis
    • Sakramen Rekonsiliasi
    • Sakramen Ekaristi
    • Sakramen Penguatan
    • Sakramen Perkawinan
    • Sakramen Pengurapan Orang Sakit
    • Sakramen Imamat
  • Ibadat
  • Komunitas
    • Lembaga Hidup Bhakti
    • Kelompok Kategorial
  • Dokumen
  • Donasi
  • Kontak Kami
Renungan Mingguan

Roti Hidup: Kesempurnaan Pemeliharaan Allah

Agu 3, 2024

Oleh Diakon Gaudensius Taninas

Minggu Biasa XVIII
Bacaan I : Kel. 16: 2-4. 12-15
Bacaan II : Ef. 4: 17. 20-24
Injil : Yoh. 6: 24-35

Padang gurun Sin, padang keluh kesah. Gurun yang membentang luas membuat pupus harapan Israel akan janji kehidupan, janji tanah yang sedang mereka tuju. Perbekalan telah habis, sukacita laut merah kini berganti bayangan kematian. Israel memprotes Musa; andaikata tadinya kami mati di Mesir oleh tangan Tuhan, tatkala kami duduk menghadapi kuali penuh daging dan makan roti sepuas hati.

Nuasa utama kisah ini adalah himpitan psikis Israel antara janji kehidupan, janji tanah dan realitas aktual yang mereka alami sekarang. Kesadaran mereka saat ini adalah; kita tidak mungkin menerima janji Allah itu tanpa roti, tanpa makanan. Maka bagi mereka, mati di Mesir sebagai budak jauh lebih berharga daripada kematian menggenaskan di padang gurun ini.

Puncak kekawatiran Israel ini menjadi bagian penting kisah exodus Israel.
Allah menampakan kebesaran-Nya secara agung dengan menyatakan pemeliharaan-Nya bagi Israel. Di tengah ketiadaan harapan Israel, Allah menjadi satu-satunya harapan Israel. Iman Israel mulai terbentuk di titik ini. Bukan lagi kepada apa yang mereka miliki tetapi kebergantungan mereka sekarang hanya pada Allah. Manna dan burung puyuh menjadi tanda bahwa Allah, hanya Allah satu-satunya yang memberi kehidupan.

Dengan cara ini Israel sesungguhnya sedang diperkenalkan suatu pola hidup baru sebagai manusia merdeka. Israel tidak harus diperbudak untuk dapat makan dan hidup, Israel tidak harus tunduk pada dewa-dewa kafir yang sesungguhnya tidak ada. Dengan percaya pada Yahwe (Allah Israel), mereka akan senantiasa dipelihara dan dengan firman-Nya, mereka dapat hidup sebagai manusia merdeka.
Dengan pemaknaan ini, maka padang gurun Sin bukan sekedar padang keluh kesah sebab Allah telah menjawab semua kekawatiran Israel. Padang gurun Sin menjadi padang Iman, padang deklarasi orang Israel sebagai orang merdeka, padang kehidupan baru, ketika Allah menyatakan pemeliharaan-Nya atas Israel.

Orang-orang Israel mengalami suatu nuansa kehidupan baru yakni hidup dalam pemeliharaan Allah. Rasul Paulus kepada Jemaat di Efesus menyerukan suatu pola, nuansa dan cara hidup yang baru pula. Sebagai orang-orang yang telah diselamatkan, jemaat Efesus diajak pula untuk hidup sebagai manusia baru, orang yang telah dimerdekakan dari dosa, orang yang telah dimenangkan Allah dari kuasa kegelapan. Nuansa baru ini seperti orang Israel yang harus segera meninggalkan pola hidup budak sewaktu di Mesir. Mereka harus segera mengenakan status kehidupan baru sebagai orang merdeka.

Jemaat di Efesus juga bagi Paulus perlu menanggalkan manusia lama mereka dan mengenakan manusia baru yakni: hidup dalam kebenaran dan kekudusan. Dengan dua cara hidup yang demikian, jemaat di Efesus diajak untuk pertama-tama sanggup memelihara diri mereka di tengah dunia yang sekuler, agar jangan sampai jatuh dalam pengharapan-pengharapan palsu. Mereka harus dapat terus tinggal dalam kebenaran Allah yakni Yesus Kristus sendiri. Yesus adalah satu-satunya yang menjamin keselamatan, maka dengan tinggal dan berharap pada-Nya, keselamatan Allah itu nyata.

Konsep Paulus ini bukan semata konsep Teologis tetapi sangat kental dengan konteks antropologi jemaat Efesus. Jemaat Efesus dihantar untuk mengenali hakekat kehidupan mereka dan ke mana mereka harusnya menggantungkan pengharapan mereka selagi hidup di dunia ini.

Hidup dalam kebenaran adalah penyerahan diri hanya kepada Allah; Dengan ini maka manusia dihantar kepada kekudusan yang sebenarnya.

Puncak pengharapan dinyatakan Yesus sendiri dalam kisah penginjil Yohanes.
Narasi pemeliharaaan Allah dinyatakan bukan sekedar melalui makanan jasmani melainkan melalui Putra-Nya sendiri. Ia menganugerahkan Putra-Nya sebagai tebusan atas semua dosa manusia. Dengan menyerahkan Putra-Nya, pelunasan janji bukan lagi dengan memberikan tanah, keturunan dan harta seperti ketika Ia berjanji pada Abraham. Kepenuhan janji Allah adalah membawa kembali anak-anak-Nya ke tanah air surgawi. Yesus Kristus Putra-Nya adalah kepenuhan yang menebus, menjadi jalan sekaligus bekal perjalanan.

Ia menyebut diri-Nya Roti hidup seperti manna yang di makan Israel membuat mereka dapat memasuki tanah terjanji, maka Yesus adalah roti hidup yang meneguhkan perjalanan manusia menuju tanah air surgawi. Akulah Roti hidup yang turun dari Surga, siapa yang datang kepada-Ku tidak akan lapar lagi dan siapa yang percaya kepada-Ku tidak akan pernah haus lagi.

Yesus adalah kepenuhan pengharapan untuk kehidupan manusia. Ia menjadi kesimpulan pengharapan Israel akan kehidupan yang berkelimpahan, kelimpahan makan (berkat) dan kelimpahan sukacita kehidupan. Pemenuhan janji Allah ini bukan lagi akan tanah, keturunan dan harta. Allah tidak lagi memelihara manusia dengan manna (sekedar santapan jasmaniah) tetapi dengan roti hidup yang setalah menguatkan manusia, sanggup menghantar kepada pangkuan Allah.

Roti hidup adalah santapan kerinduan, santapan pengharapan. Dengan menyantap roti hidup, kita mengenakan dandanan diri sebagai manusia baru (seperti dikatakan Paulus), yakni manusia tertebus yang sedang berjalan kepada Allah.

Kita ini adalah Israel baru (umat yang telah ditebus) yang sedang dalam peziarahan. Gurun kehidupan kita adalah medan kekawatiran yang kerap melanda hidup kita. Kita dihimpit kekawatiran akan makanan, akan pendidikan, akan keterasingan dan kesendirian, akan ketidak adilan sosial, akan perasaan takut kehilangan, beban pekerjaan.

Himpitan kekawatiran yang demikian adalah gurun kehidupan modern yang membuat kita kerap berdiri dan bertanya; di manakah peran Tuhan?, apakah Ia memang tidak ada sehingga manusia toh masih kawatir? Ataukah Ia begitu jauh? Kita mengeluh seperti orang Israel lalu kita memprotes Allah.

Ketiga bacaan suci hari ini mengarahkan kita pada suatu nuansa baru kehidupan iman.
Pemeliharaan Allah Ia alirkan sebagai sebuah anugerah kepada manusia.
Setiap kali merayakan Ekaristi kita merayakan misteri keselamatan kita.

Kita memang senantiasa penuh kekawatiran, kecemasan akan berbagai tantangan duniawi.
Tuhan memanggil kita kepada perjamuan kudus-Nya, Ia menyediakan hidangan keselamatan, Tubuh dan darah Putra-Nya sendiri. Maka kita yang menyambut tubuh Tuhan mestinya selalu percaya bahwa Allah senantiasa meneguhkan kita, bukan dengan barang fana, melainkan dengan tubuh Putra-Nya sendiri. Kita mestinya mengerti bahwa Allah senantiasa menyempurnakan kita dalam kelaparan dan kehausan duniawi kita.

Semoga dengan menyambut tubuh Tuhan, kita sadar bahwa Allah senantiasa memeliharadan menuntun kehidupan kita. AMIN

Navigasi pos

“Paresis Ut Prosis, Ne Ut Iperes”
Roti Hidup Sumber Yang Mengalirkan Rahmat

Related Post

Renungan Mingguan

Kasih Dibangun Dalam Perjumpaan

Nov 4, 2024
Renungan Mingguan

Yesus Putra Daud Kasihanilah Aku

Okt 26, 2024
Renungan Mingguan

Hidup Kekal Tidak Dapat Dibeli

Okt 12, 2024

Info Lain

Berita

Uskup Agung Kupang tetapkan Stasi St. Petrus Manulai II Menjadi Kuasi Paroki, RD Andre J. Alo’a sebagai Pastor Kuasi Paroki

Juni 15, 2025 sanjose.nkt
Berita

Perayaan Ekaristi Hari Raya Pentakosta 2025

Juni 8, 2025 sanjose.nkt
Berita

Perayaan Ekaristi Kenaikan Tuhan Yesus Kristus Tahun 2025

Mei 29, 2025 sanjose.nkt
Info Paroki

Rekoleksi dan Meditasi Bersama THS-THM, Pemuda Katolik, dan Mahasiswa STIPAS KAK

Mei 29, 2025 sanjose.nkt
Paroki Santo Yoseph Naikoten Kupang

Paroki Santo Yoseph Naikoten Kupang

Pelayanan Pastoral Digital

Proudly powered by WordPress | Theme: Newsup by Themeansar.