Skip to content
Paroki Santo Yoseph Naikoten Kupang

Paroki Santo Yoseph Naikoten Kupang

Pelayanan Pastoral Digital

  • Salam
  • Info Paroki
    • Profil Singkat
    • Sejarah Singkat
    • Tim Pastores & Karyawan
  • Sakramen
    • Sakramen Baptis
    • Sakramen Rekonsiliasi
    • Sakramen Ekaristi
    • Sakramen Penguatan
    • Sakramen Perkawinan
    • Sakramen Pengurapan Orang Sakit
    • Sakramen Imamat
  • Ibadat
  • Komunitas
    • Lembaga Hidup Bhakti
    • Kelompok Kategorial
  • Dokumen
  • Donasi
  • Kontak Kami
Renungan Mingguan

Jadilah Saksi Kasih Yang Nyata

Sep 27, 2025

Homili Minggu, 28 September 2025. Bacaan: Am. 6:1a,4-7; 1Tim. 6:11-16; Luk. 16:19-31.

Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, Ada sebuah kisah lama yang terus terulang dalam hidup manusia: di satu sisi, ada pesta dan kenyamanan; di sisi lain, ada luka dan kelaparan.

Injil hari ini memotret dua wajah itu: orang kaya yang berpesta setiap hari dan Lazarus yang berbaring penuh borok di depan pintunya. Dekat secara jarak, tetapi jauh secara hati. Seperti langit dan bumi, seperti musik pesta yang bergema di dalam rumah, tetapi di luar ada rintihan yang tak terdengar.

Kita membaca kisah ini sambil menggelengkan kepala, tetapi jangan buru-buru menuding orang kaya itu. Bukankah kadang kita pun mirip dengannya? Kita pun asyik dengan pesta kecil bernama “hidupku”—sibuk dengan kenyamanan diri, larut dalam kepentingan pribadi, sehingga kita tidak lagi punya waktu untuk menoleh pada Lazarus yang diam-diam hadir di sekitar kita.

Lazarus itu siapa? Ia bisa jadi tetangga kita yang kesepian. Bisa jadi anak yang merindukan pelukan ayah-ibunya, tetapi lebih sering mendapat tatapan layar gawai daripada tatapan penuh kasih. Bisa jadi pasangan hidup yang duduk serumah, tetapi merasa sendirian karena kasihnya sudah ditutupi kabut ego dan perhitungan. Bisa jadi rekan sepelayanan yang patah semangat karena kita lebih sibuk menghitung jasa daripada menyalakan semangat bersama.

Saudara-saudari, Nabi Amos hari ini berteriak lantang: “Celakalah mereka yang merasa aman di Sion, yang berbaring di ranjang dari gading, yang bernyanyi dengan lantunan kecapi, tetapi tidak peduli pada keruntuhan bangsanya.” Kata “celaka” itu bukan kutukan, melainkan alarm yang membangunkan kita dari tidur egoisme. Amos ingin mengatakan: waspadalah, kenyamanan bisa memabukkan, harta bisa meninabobokan, ego bisa membuat kita tuli terhadap jeritan dunia.

Lalu Santo Paulus menambahkan nasihat kepada Timotius: “Kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih, kesabaran, kelembutan.” Paulus seperti ingin menegur kita: jangan kejar yang fana, jangan terperangkap pada pencapaian diri. Kejarlah kasih, karena hanya itu yang akan tinggal.

Saudara-saudari, Sayangnya, budaya zaman ini justru sering menanamkan benih sebaliknya. Dunia berkata: pentingkanlah dirimu, kejar apa yang membuatmu bahagia, ukurlah segalanya dengan penghargaan, dengan “like” dan “share,” dengan posisi, dengan pujian. Maka tidak heran jika rumah tangga pun banyak yang goyah, bukan karena kurang cinta, tetapi karena cinta dipersempit dalam kalimat: “Aku sudah berkorban banyak, lalu apa balasanmu?” Relasi yang seharusnya menjadi sakramen kasih Allah berubah menjadi meja perundingan, seolah suami-istri sedang menandatangani kontrak dagang, bukan menepati janji suci.

Lebih menyedihkan lagi, mentalitas itu masuk ke dalam pelayanan Gereja. Ada yang melayani dengan perhitungan: “Kalau tidak ada nama saya disebut, buat apa saya bekerja?” Ada yang menuntut tanda jasa: “Saya sudah lama di sini, harusnya saya dihargai lebih.” Bahkan ada yang melihat pelayanan sebagai panggung untuk tampil, bukan sebagai altar untuk mempersembahkan diri. Ironisnya, kita bisa menyanyi dengan indah di paduan suara, tetapi hati kita sumbang oleh iri hati. Kita bisa mengatur liturgi dengan rapi, tetapi relasi kita berantakan karena kita lebih sibuk menghitung “aku” daripada memperjuangkan “kita.”

Injil hari ini adalah satir yang halus tetapi menusuk: orang kaya itu tidak dihukum karena hartanya, melainkan karena hatinya mati rasa. Ia tidak jahat, tetapi ia acuh. Ia tidak mencuri, tetapi ia tidak peduli. Dan itulah dosa besar zaman ini: bukan sekadar kejahatan, tetapi ketidakpedulian. Jurang antara dirinya dan Lazarus sudah ia gali dengan sekop ego setiap hari: “Aku kenyang, engkau lapar? Itu bukan urusanku.” Dan ketika kematian datang, jurang itu menjadi permanen, tak bisa lagi diseberangi.

Saudara-saudari, Coba kita bayangkan sejenak: berapa banyak jurang yang kita bangun tanpa sadar? Jurang antara kita dan pasangan hidup, karena kita sibuk menghitung siapa yang lebih banyak berkorban. Jurang antara kita dan anak-anak, karena kita lebih mendengar dering notifikasi daripada mendengar isi hati mereka. Jurang antara kita dan rekan sepelayanan, karena kita terlalu sibuk menuntut penghargaan. Jurang antara kita dan Allah, karena doa pun hanya dipenuhi daftar permintaan, bukan kerinduan akan hadirat-Nya.

Tetapi kabar baiknya: kita masih hidup hari ini. Jurang itu belum final. Kita masih bisa berhenti menggali, bahkan mulai membangun jembatan. Kita bisa menoleh, membuka pintu, mengulurkan tangan. Kita bisa mengubah kata “aku” menjadi “kita.” Kita bisa berhenti menghitung jasa, dan mulai menyalakan semangat. Kita bisa berhenti menuntut, dan mulai menjadi teladan.

Saudara-saudari, Hidup bukan soal berapa banyak yang kita simpan, tetapi berapa banyak yang kita bagikan. Bukan soal berapa kali kita diakui, tetapi berapa banyak orang yang terbakar semangatnya karena melihat teladan kita. Kita tidak dipanggil untuk menjadi penghitung jasa, tetapi menjadi saksi kasih. Kita tidak dipanggil untuk berkata, “lihatlah aku,” tetapi untuk membuat orang berkata, “aku melihat Kristus melalui dirimu.”

Maka marilah kita berani mengoreksi diri. Jangan sampai kelak kita mendengar suara Abraham berkata: “Anakku, ingatlah, engkau sudah menerima segala yang baik di hidupmu, sementara Lazarus menderita.” Jangan sampai pintu hidup tertutup, dan kita menyesal karena terlalu sibuk dengan pesta ego.

Hari ini, Kristus mengetuk pintu hati kita:Jangan hanya berpesta untuk dirimu. Jangan hanya melayani demi dirimu. Jangan hanya mencintai demi dirimu. Bukalah pintu, tolehlah pada Lazarus di sekitar kita, dan jadilah saksi kasih yang nyata.

Dan kelak, ketika hari kita tiba, semoga bukan penyesalan yang kita bawa, melainkan kebahagiaan abadi. Semoga kita dipeluk oleh Allah, yang berkata lembut: “Engkau telah setia, bukan dengan perhitungan, tetapi dengan kasih. Mari masuklah ke dalam pesta yang tak berakhir.”

RD Apolonius Dora

Navigasi pos

Kasih Dibangun Dalam Perjumpaan

Related Post

Renungan Mingguan

Kasih Dibangun Dalam Perjumpaan

Nov 4, 2024
Renungan Mingguan

Yesus Putra Daud Kasihanilah Aku

Okt 26, 2024
Renungan Mingguan

Hidup Kekal Tidak Dapat Dibeli

Okt 12, 2024

Info Lain

Info Paroki

Pemilihan Ketua DPP Paroki St. Yoseph Naikoten Kupang Periode 2025–2028

September 28, 2025 sanjose.nkt
Renungan Mingguan

Jadilah Saksi Kasih Yang Nyata

September 27, 2025 sanjose.nkt
Berita

RD Jhon Rusae Buka Kegiatan  BKSN 2025

September 22, 2025 sanjose.nkt
Info Paroki

Perayaan Syukur 25 Tahun Imamat RD Jhon Rusae, RD F.Maxi Un Bria dan RP Yohanes Tamonob,SVD

September 4, 2025 sanjose.nkt
Paroki Santo Yoseph Naikoten Kupang

Paroki Santo Yoseph Naikoten Kupang

Pelayanan Pastoral Digital

Proudly powered by WordPress | Theme: Newsup by Themeansar.